17+8 Tuntutan Rakyat: Awal Didengar, Tapi Belum Dijawab Tuntas DPR RI

Ribuan mahasiswa dari berbagai universitas menduduki atap gedung DPR/MPR RI menuntut reformasi pada Mei 1998 (Dok:Ist)

PHINISIMEDIA.COM, MAKASSAR – Setelah tekanan publik melalui gelombang demonstrasi besar akhir Agustus lalu, suara rakyat akhirnya masuk ke ruang sidang parlemen.

Melalui rapat konsultasi pada Kamis (4/9/2025), Ketua DPR RI Puan Maharani bersama pimpinan fraksi menyepakati enam keputusan penting sebagai respons atas 17+8 Tuntutan Rakyat.

Langkah ini dianggap sebagai titik awal yang menjanjikan.

Namun, di tengah apresiasi, ada catatan besar yang tak bisa diabaikan: tuntutan rakyat belum sepenuhnya dijawab, apalagi dilaksanakan.

Langkah Awal: DPR Pangkas Fasilitas dan Tunjangan

Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengumumkan enam keputusan hasil rapat konsultasi, termasuk:

Penghentian tunjangan perumahan anggota DPR sejak 31 Agustus 2025

Moratorium kunjungan kerja luar negeri non-kenegaraan

Pemangkasan fasilitas seperti listrik, telepon, hingga transportasi

Penegakan etik terhadap anggota bermasalah

Peningkatan transparansi anggaran dan legislasi

Tidak membayarkan hak keuangan bagi anggota yang dinonaktifkan oleh partai

Ini adalah gestur simbolik yang jarang dilakukan DPR, apalagi menyentuh isu-isu yang selama ini jadi pemicu kemarahan publik: privilese, transparansi, dan akuntabilitas.

“Dalam keadaan normal, isu tunjangan mungkin terlihat kecil. Tapi di tengah krisis kepercayaan, ini langkah penting secara simbolik,” ujar Hairunnas, dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat.

Namun, Banyak Tuntutan Belum Dijawab

Enam poin keputusan DPR hanya mencakup sebagian kecil dari 17 tuntutan mendesak dan 8 agenda reformasi jangka menengah.

Sebagian besar tuntutan lainnya, termasuk reformasi kepolisian, desakan agar TNI kembali ke barak, hingga penghentian kriminalisasi aktivis menjadi tanggung jawab pemerintah dan lembaga lainnya.

“Bagaimana mungkin tuntutan rakyat dijawab hanya oleh satu kaki trias politika?” tanya Hairunnas. “DPR memang penting, tapi tanpa tindak lanjut eksekutif, ini hanya ‘politik kosmetik’.”

Beberapa poin krusial yang belum tersentuh:

Reformasi Polri dan evaluasi kinerja Kapolri

Penarikan militer dari jabatan sipil dan penguatan kontrol sipil atas TNI

Revisi undang-undang kontroversial seperti UU ITE dan KUHP

Penuntasan kasus pelanggaran HAM berat

Reformasi ekonomi dan distribusi kesejahteraan

Suara Mahasiswa: Tidak Cukup Didengar, Harus Dijawab

Perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yang hadir dalam dialog dengan DPR dan Presiden Prabowo Subianto mengapresiasi langkah awal tersebut, tapi juga menegaskan bahwa ini belum cukup.

“Kami tidak meminta simbol, kami meminta tanggung jawab. Tuntutan kami adalah soal kebijakan, bukan sekadar potong tunjangan,” ujar Farhan Maulana, Koordinator BEM Nusantara.

Menurut Farhan, pertemuan dengan DPR (3/9) dan Presiden (4/9) adalah momentum penting, tapi belum bisa dianggap sebagai penyelesaian.

Tantangan Selanjutnya: Implementasi dan Pengawasan

Pengamat politik menilai bahwa tantangan utama ke depan bukan hanya soal respons, tapi bagaimana kebijakan tersebut dijalankan secara konsisten dan diawasi publik. Tanpa mekanisme kontrol dari masyarakat sipil, langkah DPR bisa dengan mudah kembali ke pola lama: simbolik dan sementara.

“DPR harus tetap menjalankan fungsi pengawasan terhadap pemerintah. Termasuk mengawal reformasi Polri, mendorong TNI kembali ke barak, serta menekan pemerintah dalam reformasi ekonomi,” jelas Hairunnas.

Penutup: Jalan Masih Panjang

17+8 Tuntutan Rakyat adalah refleksi dari krisis kepercayaan yang dalam. Respons awal DPR memang patut dicatat, tapi rakyat tidak akan berhenti di ucapan atau gestur semata. Tuntutan sudah didengar, tapi jawabannya baru setengah jalan.

Yang dinanti publik sekarang bukan lagi kata-kata, melainkan kebijakan nyata dan perubahan sistemik.

“Ini bukan akhir, ini baru permulaan,” pungkas Farhan.

Comment